Akademisi Polman Sebut Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa Kemunduran Demokrasi
POLMAN, Sulbarpost.com – Rencana perpanjangan masa jabatan Kepala Desa menjadi sembilan tahun dinilai sebagai kemunduran Demokrasi.
Hal itu disampaikan Akademisi Polman Muhammad Abid, ia menilai usulan perpanjangan periode kepala Desa menjadi 9 tahun itu adalah sebuah ide yang bertentangan dengan demokrasi, sebab demokrasi itu menolak keras kekuasaan yang absolut.
“Wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa tentu merusak tatanan demokrasi karena sejatinya jabatan publik yang dipilih langsung oleh rakyat dalam demokrasi harus dipergilirkan guna menghindari adanya kecenderungan korupsi dan otoriterian,” kata Abid Senin 3 Juli.
Ia menjelaskan, semangat dari konstitusionalisme masyarakat kita adalah adanya pembatasan kekuasaan. Sebab apabila kekuasaan yang dibiarkan cukup lama tidak terbatas akan menghasilkan kekuasaan yang cenderung korup dan berpotensi membangun Oligarki.
“Jadi Masa jabatan kepala desa ini inkonstitusional karena tidak sesuai dengan konstitusionalisme yang dianut pada konstitusi negara kita,”ucapnya.
Ia mengatakan, konstitusi itu harus membatasi kekuasaan, hal ini dilakukan untuk menjauhi dari tindakan penyelewengan akibat tidak dibatasinya kekuasaan. Hal ini tentu Tertuang dalam politik hukum konstitusi kalau tidak salah pada amandemen ke satu pasal 7 UUD 1945, dimana masa jabatan presiden 5 tahun dan dibatasi dua periode, oleh sebab itu konstitusi UUD 1945 sudah konstitusionalisme. Pembatasan kekuasaan lembaga tinggi negara sudah konstitusional, artinya Presiden maksimal 10 tahun, begitupun masa jabatan Bupati dan Gubernur.
Hal yang begitu luar biasa terjadi jika masa jabatan kepala desa relatif lebih lama dibandingkan dengan jabatan eksekutif masa jabatan ini relatif lebih lama delapan tahun dibanding jabatan Presiden, Gubernur, Bupati dan wali kota, sehingga kepala desa akan dimungkinkan sekali lagi akan memungkinkan dapat menyelewengkan kewenangan abuse of power dan masa jabatan tersebut bertentangan dengan konstitusionalisme.
Hal itu juga dinilai, melabrak semangat otonomi desa. Pasalnya, dalam rangka kita mendidik masyarakat desa dan lembaga-lembaga adat yang penuh dengan kearifan lokal, justru harus dimulai dengan limitasi jabatan kepala desa,Tanpa ada pembatasan, kelembagaan desa akan digilas punah oleh tren perkembangan demokrasi
“Jadi wacana soal berapa tahun berapa periode dalam jabatan kepala desa terkesan sangat pragmatis. Ini menampakkan nafsu berkuasa tanpa batas sampai sampai melupakan filosofi Pancasila yang mensyaratkan nilai-nilai kepemimpinan yang penuh hikmah, kebijaksanaan, musyawarah, keterwakilan,” tandasnya.(am/*)